Lum’atul I’tiqad (Hal 5-6)

Sabtu, 24 September 2011

:: Kaidah Pokok dalam Akidah Asma’ dan Sifat ::

Kaidah Pertama: Sikap yang wajib dilakukan terhadap dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah terkait dengan Asma’ dan Shifat Allah.

Di antara sikap yang wajib dilakukan terhadap dalil dari Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang Asma’ dan Shifat Allah adalah membiarkan maknanya sebagaimana makna dhahirnya tanpa memberikan perubahan. Karena Allah Ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an itu dengan bahasa Arab yang jelas. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berbicara dalam bahasa Arab. Maka wajiblah bagi kita untuk membiarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sabda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana lafadz dari bahasa Arab tersebut. Karena melakukan perubahan dari makna dzahirnya merupakan perkataan atas Allah tanpa didasari ilmu. Hal ini adalah sikap yang terlarang, berdasarkan dalil,

”Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33).

Permisalan dari hal itu dalah firman Allah Ta’ala,

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

”tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (QS. Al-Maidah: 64).

Makna dzahir dari ayat ini menunjukkan bahwa Allah memiliki dua tangan yang hakiki. Dengan demikian, wajiblah bagi kita untuk menetapkan hal tersebut sebagaimana makna dzahir ayat. Jika seseorang berkata: “Yang dimaksud dengan kedua tangan di sini adalah kekuatan”,Maka kita katakan padanya,”Hal itu adalah pengalihan kata dari makna dzahirnya, tidak boleh berpendapat dengan hal tersebut, karena hal itu merupakan perkataan tentang Allah tanpa didasari ilmu.”

Kaidah yang Kedua: Tentang Asma Allah Ta’ala.

Kaidah yang kedua ini memiliki beberapa cabang.

Cabang yang pertama: Nama Allah semuanya adalah indah. Yaitu sampai pada puncak dari segala keindahan. Karena nama Allah itu mengandung sifat yang sempurna yang tidak memiliki kekurangan apapun dari segala sisi. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

” Hanya milik Allah asmaa-ul husna.” (QS. Al-A’raf: 180).

Misalnya, salah satu nama Allah yaitu Ar-Rohman. Ini adalah salah satu dari nama Allah ta’ala yang menunjukkan sifat-Nya yang agung yaitu rahmat-Nya yang luas. Dari sini kita mengetahui bahwa bukanlah terasuk  nama Allah “Masa”, karena nama ini tidak mengandung makna yang mencapai puncak keindahan.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لا تسبوا الدهر، فإن الله هو الدهر

“Janganlah kalian mencela masa1), karena sesungguhnya Allah adalah masa.”

artinya Pemilik Masa yang mengatur masa tersebut. Berdasarkan perkataan beliau dalam sebuah riwayat, yaitu firman Allah ta’ala,

بيدي الأمر أقلب الليل والنهار

” Ditangankulah segala urusan. Aku yang membolak-balikkan malam dan siang.”

Cabang yang kedua: Nama Allah itu tidaklah dibatasi oleh jumlah tertentu. Sebagaimana sabdaRasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang cukup terkenal,

أَسْأَلُكَ اللّٰهُمَّ بِكُلِّ اسْمٍِ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أًوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ، أًوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدِكَ

”Aku memohon kepada-Mu Ya Allah dengan segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamai diri-Mu dengannya, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, yang Engkau ajarkan kepada salah satu dari ciptaan-Mu, atau yang Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.”

Apa yang Allah sembunyikan dari ilmu ghaib tidak mungkin dibatasi dan hanya Allah saja yang tahu.

Dan terhimpun antara hal ini dengan sabda belia shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits shahih,

إن لله تسعة وتسعين اسماً من أحصاها دخل الجنة

”Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barangsiapa yang menghafal2) nya maka akan masuk surga.”

Makna dari hadits ini, bahwa di antara nama-nama Allah ada 99 nama, barangsiapa yang memahami dan mengamalkan konsekuensi dari kalimat tersebut, maka baginya surga. Namun bukan berarti maknanya Allah membatasi nama-Nya dengan jumlah ini. Karena perkataan tersebut sama halnya dengan jika engkau katakan,”Aku memiliki 100 dirham yang aku siapakan untuk bersedekah.” Pada kahikatnya tidaklah diingkari bahwa engkau memiliki banyak dirham yang lain yang engkau sediakan untuk sedekah yang lain.

Tambahan dari Ustadz:

1) jika seseorang menyeru dalam doanya, يَا دَهْرُ  (Wahai Masa) maka terdapat dua rincian sebagai berikut:

  • Jika yang dimaksud الدَهْرُ di sini adalah  panggilan untuk waktu, maka dia telah berbuat syirik karena berdoa kepada selain Allah Ta’ala.
  • Namun jika yang dimaksud الدَهْرُ di sini adalah Allah, maka ini merupakan su’ul adab (adab yang buruk) kepada Allah, karena telah memanggil Allah dengan nama yang bukan  merupakan asma’ul husna (nama Allah yang mencapai puncak keindahan).

2)yang dimaksud dengan احصا di sini harus mengandung dua hal, yaitu:

  • Memahami asma Allah yang 99 tersebut.
  • Mengamalkan apa yang menjadi konsekuensinya.

#Bersambung#

Terjemah Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad

Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah.

Bersama Ustadz Abu Sa’ad M. Hur Huda, Lc. MA.

Setiap Sabtu Jam 16.00-17.15 @Wisma Raudhatul ‘Ilmi

Sumber:

Kitab Lum’atul I’tiqad, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, Darul ‘Aqidah.


5 thoughts on “Lum’atul I’tiqad (Hal 5-6)

  1. afwan agar tidak membuat rancu bagi pemula, mohon diperjelas. Kitab lum’atul I’tiqad adalah karya ibnu Qudamah, sedangkan yang dikarang Syaikh Utsaimin adalah kitab penjelasnya yakni Syarh lum’atul I’tiqad. Barokallahu fiki

Leave a comment